![]() |
Jembatan Soge - ayo ke sana lagi, Bu... |
Nyatanya,
aku tak sekuat itu.
Sekalipun kemarin-kemarin
aku begitu pandai menyimpan galauku dihadapanmu. Saat kau bertanya kabar dan
aku selalu menjawab baik-baik saja. aku
selalu menjawab dengan prosa yang itu-itu saja. Dan kau, tak bosan bertanya. Sementara
aku? Hampir-hampir kesal karena harus menuliskan kata-kata yang sama: Aku
baik-baik saja, Bu.
Sudah
sejak lama kan, Bu?
Begitu lamanya
aku terbiasa jauh berhari-hari darimu. Sejak merantau di SMA, pulang sepekan
sekali. Sabtu sore datang, ahad sore harus berkemas kembali. Atau kalau tidak,
senin pagi aku harus melepas sesak di dada. Karena sekali lagi, aku harus
berjalan tanpamu. Aku harus mengarung hidup yang keras tanpa pengawasan dan
perlindunganmu.
Nyatanya,
aku tak sekuat itu.
Tiap aku
pulang dan mencium kedua tanganmu, kau sering bertanya banyak hal padaku. Intensintas
kuliah yang ternyata jaraknya lebih jauh dan aku lebih banyak harus
membagi-bagi waktuku itu membuatku makin jauh darimu. Sebulan, duabulan, bahkan
tiga bulan pernah kulalui tanpa menyapa wajahmu sedikitpun. Aku jahat ya, Bu? Kenapa
Ibu tak memarahiku dan menyuruhku pulang saja?
Dulu seringkali aku memilih diam dan masuk
kamar ketika kau akan memulai pertanyaanmu tentang aktivitasku selama seminggu –waktu
SMA- dan selama dua tiga bulan –di perkuliahan-. Bukan karena aku tak mau
menjawab pertanyaanmu, Bu. Bukan pula aku tak mau bercerita banyak tentang
dunia indah yang kutemui di perantauan sana. Bukan pula karena aku
menyembunyikan kejahatanku dan ketidakbaikanku selama di sana. Aku tak pernah,
Bu. Aku selalu berusaha untuk menjadi sebaik-baik anak Ibu. Menjaga diri,
berarti menjaga namamu dan Bapak juga, kan Bu? Aku bukan anak yang neko-neko. Aku
tak kenal apa itu hang-out, bahkan aku yang hampir empat tahun di kota berhati
nyaman ini tak juga hapal jalan-jalanan tempat orang berlalu lalang. Aku hanya
berjalan sesuai kata hati menuntunku; jika baik, berjalanlah. Jika tidak,
berhentilah.
Sebab lariku
dari pembicaraanmu itu, Bu. Aku tak kuat. Setiap memulia frasa denganmu,
rasanya mataku berat. Ada bulir-bulir yang mendesak kelopak mataku. Entah ekspektasi
rindu yang hampir meledak atau perasaan apa, ah aku tak tau. Aku tak mau
menangis di depanmu, Bu. Aku tak mau terlihat lemah lalu kau akan turut
menangis bersamaku. Aku tak kuat –lebih-lebih tak kuat- jika harus melihat
wanita yang amat kuhormati –Ibu- harus menangis karenaku.
Ah ya, Bu.
Aku jadi ingat saat kecil dulu. Aku sakit begitu keras berminggu. Berbutir pil
tak mampu jua membuat panasku turun. Saat itu, hampir-hampir aku akan menyerah
dengan kehidupan. Aku tak kuat. Kataku kala itu, masih terngiang jelas;
“Bu..
Rizki nggak kuat. Aku pingin mati aja biar sakitnya pergi...”
Aku menggigil.
Dan kau? Kau menangis berjam-jam pasca mendengar itu. bulir air matamu mengenai
pipiku. Kita berpelukan. Momen itu begitu kuingat bukan karena sakit yang
memang sangat jahat menimpaku –ah padahal kini aku baru tau jika sakit itu
justru pelebur dosa-, tapi terlebih karena kejahatanku yang membuat seorang
wanita tangguh sepertimu harus menitikkan air mata di depanku. Aku sungguh
jahat, ya, Bu? Seharusnya aku tak mengatakan hal itu.
Nyatanya,
Aku tak sekuat itu.
Berulangkali
aku katakan padamu: aku akan bahagia dan baik saja, jangan khawatirkan aku,
Ibu. Tapi nyatanya aku tak sekuat itu. seperti saat ini, saat pusing
menyerangku lagi –darah rendahku yang kumat kah?- yang pertama terlintas
dibenakku adalah dirimu, Bu. Membayangkan betapa syahdunya jika saat ini juga
aku berada di sampingmu, lalu kau belai jilbabku, dan hilang pusingku hingga
tertidur di pangkuanmu. Ah, Ibu. Menitik air mata tak henti jika mengingatimu.
Dan gerimis
malam ini makin lengkap menambah haruku. Kututup pintu kamarku agar tak
tertangkap oleh kawan-kawan kos ku. Namun nyatanya, aku tertangkap basah juga.
Karena nyatanya,
memang aku tak sekuat itu.
Ah Bu. Maafkan
anakmu, yang sebesar ini belum bisa memberikan kebahagiaan untukmu. Walau aku
benar-benar tahu, kau tak membutuhkan sesuatupun dariku. Senyumku, adalah
bahagiamu.
Bu, malam
ini apakah kau juga mengingatku?
Semoga malam
nanti kita jumpa dalam doa-doa panjang kita. Semoga suara mengajiku terdengar
hingga hatimu: sepenuhnya aku mencintaimu, Bu. Semoga Allah menjagamu dan
melimpahkan cintaNya padamu. Doakan anakmu ini, Bu.
Aku sayang
Ibu, karena Allah.
Bilik Cinta, di sudut kota Jogja.
29 Januari 2015,
21.45 WIB
yang selalu mencintaimu dan merindukan pertemuan denganmu.
anakmu.
Rizki Ageng Mardikawati.
yang selalu mencintaimu dan merindukan pertemuan denganmu.
anakmu.
Rizki Ageng Mardikawati.
Diiringi lagu
Irfan Makki- Mamma
Mamma, yo know that I love you...
No matter what I say or do
I can never thank you,
I can never thank you,
oh Mamma
You know that I love you
You are the proof
Of what love can do
Truly you are Gods miracle
You know that I love you
You are the proof
Of what love can do
Truly you are Gods miracle
You’re my shelter from the rain,
You’re the shoulder I cry on
Whenever I feel pain
One touch from you and the pain is gone!
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-