(Sebuah resume dari sebuah bab dalam buku -Fiqh Prioritas-)
Fiqh Prioritas
“Prioritas dalam Bidang Fatwa dan Da’wah”
Bismillaah. Dengan menyebut asma-Nya yang ilmunya melebihi dunia sisinya, yang apabila dituliskan dengan tinta yang besumber pada seluruh lautan, maka tak akan ada habis-habisnya ilmu itu dituliskan. Berbicara mengenai fiqh prioritas, semua muslim mutlak membutuhkan pemahaman atasnya. Baik sahabat zaman rasulullah, maupun muslim masa kini. Bahkan, dengan segala perubahan zaman, percepatan, dan globalisasi, semuanya terasa lebih kompleks dan membingungkan. Karenanya, kita memerlukan pedoman dalam melangkah, manakah yang harus didahulukan. Fiqh ini termasuk dalam fiqh kontemporer/ kekinian (semoga tidak salah), yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan. Seperti yang ditulis Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Fiqh Prioritas: Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang, seperti firman Allah dalam Q.S Ar Rahman: 7-9.
“Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Dan, pada bab ini saya akan meresume mengenai bab 5 dalam buku: Prioritas dalam Bidang Fatwa dan Da’wah. Ada 6 subbab masing-masing yang akan saya jelaskan secara singkat di sini.
1. Memproritaskan persoalan yang ringan dan mudah atas persoalan yang berat dan sulit
Ada banyak nash mengenai fatwa dalam Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa yang mudah dan ringan itu lebih dicintai Allah dan rasulnya daripada yang berat. Misalkan saja, dalam ayat berikut:
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..” (Q.S Al Baqarah: 185)
Keringanan, atau rukhsah, digunakan pada kondisi-kondisi tertentu yang memang dibutuhkan. Sebuah fatwa tidak akan saklek begitu-dan harus begitu, karena Allah menganjurkan untuk melakukan yang mudah dan ringan. Misalkan saja pada waktu itu ada sahabat yang dipayungi dalam perjalanan. Kemudian rasul bertanya kenapa ia dipayungi, ternyata karena ia puasa. Maka, rasul menganjurkan lebih baik tak berpuasa saat perjalanan, kecuali yang benar-benar kuat dan telah terbiasa. Rasul juga menganjurkan kita untuk mnyegerakan berbuka kala berpuasa, jika telah tiba waktunya. Pernah dengar kisah seorang sahabat yang meninggal karena salahnya seorang sahabat yang memberikan informasi mengenai keharusan mandi junub bagi yang junub, padahal yang junub itu sedang terluka parah di kepalanya? Kala itu memang sang Sahabat belum tahu bahwa ada keringanan. Maka rasul memarahinya, bahwa ada keringan.
Keringanan ini ditujukan kepada siapapun, terutama kepada orang awam yang baru saja masuk Islam, atau orang yang baru saja bertaubat. Ketika mereka menjumpai keringan-keringan dalam Islam, tentu mereka senang berada dalam agama ini. Karena pada saat ini, orang-orang lebih suka dengan kabar gembira daripada harus ditakut-takuti. Pun, ketika sholat sekalipun. Rasul meminta para sahabat untuk tidak memanjangkan bacaannya saat sholat, karena bisa jadi yang menajdi makmum mereka itu orangnya beragam; mulai dari anak-anak, orangtua, maupun orang yang tergesa-gesa karena mempunyai keperluan dan kepentingan segera setelah sholat usai. Bahkan, rasul adalah imam yang memendekkan bacaannya kala menjadi imam sholat di masjid umum. Contoh lain, beberapa ulama pernah memberikan fatwa bahwa melemar jumrah (pada musim haji) harus dilakukan saat tergelincirnya matahari. Akibatnya apa? Ratusan muslim yang sedang menunaikan ibadah haji meninggal karena berdesak-desakan. Padahal, Nabi telah memudahkan urusan dalam melaksanakan ibadah haji, dan ketika beliau ditanya tentang amalan yang boleh dimajukan dan diakhirkan, beliau menjawabnya.. “Lakukan saja, tidak mengapa.”
2. Pengakuan terhadap kondisi darurat
Setiap kita pasti pernah menjumpai hal-hal yang darurat dalam kehidupan, dan Islam memberikan solusi dan kemudahan. Syariat agama ini telah menteapkan segala sesuatu hukum khusus untuk menghadapi kondisi darurat; yang membolehkan kita melakukan sesuatu yang biasanya dilarang dalam kondisi biasa; dalam hal makanan, minuman, pakaian, perjanjian, dan muamalah. Syariat ini juga berlaku untuk waktu-waktu tertentu, untuk orang awam maupun orang khusus, demi memudahkan umat dan menghindarkan mereka dari kesulitan. Misalnya saja soal makanan, Allah telah menetapkan nama-nama makanan yang dilarang/haram dikonsumsi, namun pada kondisi-kondisi tertentu yang memaksa, diperbolehkan.
“... tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tak menginginkannya dan tidak dak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang..” (Q.S Al Baqarah: 173)
Selain itu, terdapat juga penjelasan dari sunnah Nabi SAW yang memperbolehkan penggunaan sutera bagi kaum laki-laki. Yaitu tentang riwayat yang mengatakan bahwasanya pada waktu itu Abdurrahman bin ‘auf dan zubair bin awwan sama-sama mengadu pada nab bahwa mereka terserang penyakit gatal, kemudian rasul mengizinkan mereka memakain pakaian yang terbuat dari sutera karena adanya kasus tersebut.
3. Mengubah fatwa karena perubahan waktu dan tempat
Dalm bukunya, Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, bahwa fatwa-fatwa itu bisa jadi berubah karena perubahan waktu dan tempat. Bisa jadi, fatwa yang berlaku pada zaman rasul dulu, tidak lagi sesuai dengan realitas yang kita hadapi saat ini. Karenanya, hal inilah yang mengharuskan kita untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pandangan dan pendapat Ulama terdahulu. Misalkan saja, mengenai hubungan orang muslim dengan orang non muslim pada waktu itu. Pada dasarnya, Islam adalah agama yang indah dan menyukai perdamaian. Sama sekali tidak menyukai peperangan. Pada masa rasulullah, ada banyak peperangan melawan kaum musyrikin dikarenakan keadaan yang memaksa kau muslimin untuk melakukannya, misalnya penindasan yang keterlaluan, mengancam kehidupan, dan lain sebagainya. peperangan pada masa ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk menyingkirkan penghalang yang bersifat material di tengah jalan dakwah. Sedang saat ini? Tidak ada halangan lagi bagi kita untuk berdakwah, kita bisa bebas menyampaikan dakwah kita lewat apapun: ceramah langsung, radio, televisi, tulisan, gambar, dan lain sebagainya. jadi, tak ada alasan untuk tidak berdakwah bagi semua muslim saat ini :)
4. Menjaga sunnah pentahapan (marhalah) dalam da’wah
Dalam masalah ini, kita juga harus mengambil yang mudah dengan menjaga sunnah pentaha[an (marhalah) dalam dakwah. Bahwa semuanya perlu proses dan pelan-pelan, untuk mencapai sebuah tujuan ataupun kesuksesan. Contoh yang paling jelas, adalah mengenai pengharaman khamr, yang pelarangannya pun secara bertahap.
Pada saat Umar bin Abd-al Aziz menjadi khalifah kelima, anaknya yang bernama Abd al-Malik –yang pada saat itu masih sangat muda, bertaqwan, dan semangat yang menggelora, berkata pada ayahnya, “Wahai Ayah, mengapa berbagai hal tidak kau laksanakan secara langsung? Demi Allah, aku tidak peduli terhadap periuk mendidih yang dipersiapkan untukku dan untukmu dalam melakukan kebenaran.” Pemuda ini menginginkan ayahnya yang menjadi pemimpin masa itu segera melakukan ini dan itu untuk menyingkirkan segala kerusakan dan penyimpangan. Namun, apa jawaban sang ayah? Sungguh indah sekali, “Jangan tergesa-gesa anakku, karena sesungguhnya Allah SWT mencela khamr dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, kemudian mengharamkannya pada kali ketiga. Dan sesungguhnya aku khawatir bila aku membawa kebenaran atas manusia secara sekaligus, maka mereka juga akan meninggalkannya secara sekaligus. Kemudian tercipta orang-orang yang memiliki fitnah.”
Karenanya, dalam melakukan sesuatu, apalagi dalam berdakwah, perlu proses dan tahap-tahap tertentu; jangan tergesa-gesa dan segera ingin meraih kesuksesan dan keberhasilan. Segalanya membutuhkan proses.
5. Meluruskan budaya kaum muslimin
Sebenarnya agak kurang paham dengan sub-bab ini. :D bismillaah, intinya yang terpenting dan lazim pada hari ini dalam mendidik dan membekali pemahaman ajaran agama terhadap kaum Muslimin ialah memberikan pengetahuan kepada mereka apa yang patut mereka kerjakan terlebih dahulu dan apa yang mesti diakhirkan; serta apa yang seharusnya disingkirkan dari budaya kaum Muslimin.
Misalkan saja, dalam lembaga pendidikan keagamaan, masih banyak sekali pelajaran yang menghabiskan tenaga dan waktu para pelajar untuk melakukan kajian terhadap hal itu. Padahal, separuh atau seperempat waktu yang ada sebenarnya bisa dilakukan untuk mempelajari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi agama dan dunia mereka. Perbuatan lain yang serupa adalah mengenai kesibukan orang-orang terhadap masalah-masalah khilafiyah antara satu mahzab dengan yang lainnya, atau menyulut pertarungan bersama gerakan tasawuf, atau berbagai kelompok tasawuf, dengan berbagai persoalannya termasuk sunnah dan bid’ah, yang betul dan yang menyimpang. Kita mesti membuat prioritas terhadap masalah ini dan tidak boleh membuat generalisasi dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.
6. Ukuran yang benar: Perhatian terhadap isu-isu yang disorot oleh Al-Qur’an
Al-Qur’an, surat cinta dariNya, sudah layaknya kita cermati dan perhatikan untuk dijadikan pedoman. Karena ternyata, didalamnya memuat banyak hal berkenaan dengan prioritas ada banyak isu-isu yang disoroti oleh Al-Qur’an. Misalkan saja, kita harus lebih perhatian terhadap apa-apa yang sering diulang-ulang dalam ayat maupun suratnya, apa yang ditegaskan dalam perintah dan larangannya, janji dan ancamannya, dan diberikan perhatian oelh pemikiran, tingkah laku, penilaian, dan penghargaan kita. Contohnya, mengenai keimanan, pahala, surga dan neraka, maupun pokok ibadah dan syiar-syiarnya seperti sholat dan membayar zakat, tobat, bersabar terhadap cobaanNya, dan syukur terhadap nikmatNya. Juga, mengenai pokok-pokok keutamaan, akhlak yang mulia, sifat-sifat yang baik, dan lain sebagainya.
Kita juga perlu mengetahui mengenai isu-isu yang tidak begitu diberi perhatian oleh Islam kecuali sangat sedikit, misalnya masalah Isra’ Nabi yang hanya dibicarakan dalam satu ayat saja, berbeda dengan peperangan yang dibicarakan dalam Al-Qur’an di dalam satu surat penuh. Adapun, maulid (istilah yang benar adalah milad) Rasul sama sekali tidak dibicarakan dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini tidak begitu penting dalam kehidupan Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat, sebagaimana keterkaitan kelahiran Al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid tidak berkaitan dengan amalan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin atau sesuatu yang dianjurkan.
Begitulah, Al-Qur’an menjelaskan, sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai pedoman dan petunjuk jalan.
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal salih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar..” (Q.S Al Isra’: 9)
Khalifah pertama, Abu Bakar Ash Shidiq pernah berkata, “ Kalau aku kehilangan ‘kendali unta’ maka aku akan dapat menemukannya di dalam kitab Allah”
Kesimpulan:
- Jadi, jangan mempersulit, tapi permudahlah yang sulit, buatlah mudah,, yang mudah, buatlah semakin mudah.. Islam ini, sungguh indah :)
- Prioritas Imu atas amal, makanya rajin baca buku dan ngaji, biar nggak galauan lagi nentuin prioritas :D
Allahu’alam bi showab ^_^
Yang masih belajar, bahkan dalam me-resume buku sekalipun :)
DAFTAR PUSTAKA:
Al Qardhawy, Yusuf. 2010. Fiqh Prioritas: Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.Jakarta: Robbani Press
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-