
Kemana-mana
harus pakai kaos kaki. Di rumah, di kampus, bahkan di pantai pas jalan-jalan. Nggak peduli panas, hujan, atau angin puting beliung sekalipun.
Pokoknya kudu pake kaos kaki.
Walaupun itu bagian paling kecil dan paling bawah, tetep aja itu aurat dalam
kondisi apapun. Kata orang: nggak banget!
plis deh, ngapain pakai-pakai kaos
kaki segala, toh aku nggak akan pernah mau lihat seperti apa kakimu. Itu sih
kata orang.
Kata orang, jadi muslimah itu ribet banget. Apalagi jadi muslimah yang
bener-bener menjaga dirinya. Kalau
mau pergi ke suatu tempat barengan anak kelas, pasti si muslimah kudu
diprioritasin dulu. Nggak boleh sembarangan bonceng orang, kudu sesama
perempuan. Sama laki-laki? Deketan aja nggak boleh. Lirik-lirikan aja bukan main susahnya, apalagi
boncengan. Bukan mahram, Bro!
katanya.
Kata orang nih ya. Kalau lagi makan bareng sama muslimah, kita nggak bakalan
bebas ngerumpiin orang. Si muslimah
atau kerennya disebut akhwat itu, pasti
bakalan melarang. Ssttt.. nggak baik ghibah! Dosa, Ukh! Gitu katanya. Uiih..
sebel pokoknya kalo lagi jalan sama si muslimah. Nggak bebas dandan ke salon, meni
pedi, dan cuci mata di mall. Mending
ngaji, pasti gitu kata si muslimah.
Lebih manfaat. Lebih berpahala. Gitu katanya. Itu sih kata orang. Sedih banget
lah. Lalu, siapa yang salah? Akhwatnya, atau yang nggak suka sama akhwat?
“Afra. Maaf, saya teh pinjem tipe-ex nya atuh.”
Tiba-tiba suara seorang laki-laki membuyarkan lamunanku. Iwan. Aku tergagap
kaget sambil memberikan tipe-ex pada Iwan.
“I..
Ini Wan..”
Iwan
mengerutkan dahinya.
“Kamu
teh nglamun yak, Fra? Hayoo. Nglamunin apa?” ledeknya.
“Menurutmu,
muslimah itu kayak apa, Wan?”
tiba-tiba mulut ini mengeluarkan kalimat. Astaghfirullah..
terlanjur. Kenapa aku tanya seperti ini? Sekonyol apapun, Iwan tetaplah
laki-laki. Aku malah bercanda. Aku menunduk malu.
Benar
saja, Iwan langsung menjawab, dan jawabannya konyol sekaligus menohok hatiku.
“Emm..
Muslimah itu.. muslimah itu kayak
kamu Fra.” Iwan tertawa lebar, lalu tiba-tiba ngeloyor pergi seenaknya. Dengan membawa tipe-ex ku. Aku pingsan.
***
Tap..tap..
Aku
menyusuri koridor kampus baruku. Hmm.. suasananya lengang. Ah, sebentar lagi
sampai di kelas yang akan aku tuju. Dari kejauhan sudah tampak gerombolan anak
laki-laki yang suka nongkrong di depan kantin. Napasku tiba-tiba tercekat:
menyadari sesuatu. Ah, sebentar lagi. Mengalami hal yang sama. Benar saja,
radius 5 meter dari mereka, suara-suara sumbang itu sudah mulai bersahutan.
“Batman lewaaat!!”
“Assalamu’alaykum,
Ukh..”
“Eh,
si muslimah berangkat ke kampus ya? Mau ane antar?”
Suara-suara
itu kembali bersahutan. Aku nyengir
setiap kali melewati kerumunan mahasiswa fakultas sebelah. Hmm.. sudah biasa.
Dulu sih, pas awal-awal masuk kampus
ini, yang artinya awal juga aku memakai pakaian taqwa ini, aku sedih bukan main. Bertanya-tanya mengapa aku
dikatakan seperti itu. Digoda seperti itu. Padahal, aku berusaha belajar untuk
memperbaiki diri. Bukankah hijab ini kupakai untuk melindungi diri? Jadi sedih.
***
Ya. Aku berjilbab sejak duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas. Kala itu, aku sangat ingin berjilbab. Entah
kenapa. Yang jelas, bukan karena kakak perempuanku yang pada waktu itu juga
mengenakan jilbab. Bukan pula karena dianggap modis ataupun lagi trend. Kala
itu yang terpikir dalam benakku adalah: aku ini sudah beranjak remaja dan harus
mulai berpikiran dewasa. Remaja artinya memasuki masa baligh, dan baligh
artinya sudah dikenai kewajiban. Salah satu kewajiban seorang muslimah itu ya
berjilbab. Walaupun kala itu jilbabku masih mini. Mini sekali bahkan. Yang ada
dalam benakku ya yang penting berjilbab.
Menjelang semester dua waktu SMA
kala itu, aku bertemu dengan mbak-mbak yang sangat baik. Mbak-mbak ini ternyata
adalah pengurus rohis di sekolahku. Namanya mbak Fatimah. Dia mengenakan jilbab
lebar, dengan kain longgar dan kerudung yang tebal. Subhanallah, sungguh
mempesona. Beliau yang wajahnya memang cantik semakin bertambah cantik.
Pancaran auranya pun begitu luar biasa: karena kebaikannya, kecantikannya,
ilmunya, dan yang paling penting agamanya.
Ya, bahagia sekali rasanya waktu
itu. Bisa mengenal mbak Fatimah, dan akhirnya aku ikut rohis. Mulai kenal
dengan dunia Ngaji yang ternyata asyik sekali. Dan, yang paling menyenangkan
adalah aku sangat nyaman dengan duniaku saat ini. Aku mulai mengenakan jilbab
seperti yang dikenakan mbak Fatimah. Ya, walaupun belum sebesar punya beliau.
Sedikit demi sedikit mulai kuperbaiki pakaian taqwaku ini. Kumusiumkan celana
jeans kesayanganku dan kuganti dengan rok-rok aneka warna yang longgar. Kutaruh
dalam lemari kaos-kaos oblong kesayanganku, untuk dipakai di rumah saja,
kuganti dengan kemeja longgar ataupun gamis manis.
”Kamu
ikut aliran apa, Nak?” kata Ibuku suatu hari. Dengan tampang yang khawatir dan
sedikit-sedikit melihati layar televisi. Bergantian dengan melihat wajahku, dan
tentu saja kerudung lebarku.
“Aliran
Islam.” Jawabku pendek.
Ibuku
sempat terlonjak, “Aliran apa lagi itu? Nduk, kamu itu sekolah jauh-jauh,
pualng sebulan sekali. Nggak usah ikut yang aneh-aneh.” Muka beliau tampak
khawatir. Sangat khawatir.
“Jangan-jangan
NII.” Kata ibuku kala itu. Aku tegelak.
“Wong
jilbaban sesuai syariat kok dibilang NII. Baju longgaran dikit dibilang
teroris. Enggak atuh bu.” Jawabku pendek.
bersambung
bersambung
Di tunggu kelanjutannya.. ^^
BalasHapusiya mbak Inas, insya Allah :)
BalasHapuswauw
BalasHapusby mas jojo..hehe
Mas Jooo?
HapusHe... semoga bermanfaat :)
Wah mba kiki gak nyangka, baru tau mba kiki suka nulis .. tetep semangat ya mba, aku suka banget sama tulisan-tulisanmu ..
BalasHapusTerimakasih ma Kiki .. :)
eheheh,, sama2 :) ni istiqomah,.. siapa ya? :Di
BalasHapusseperti namamu -doakan biar bisa istiqomah ya ^^-